Path: Top > Electronics Clipping > PENDIDIKAN
Benahi Pendidikan Dasar, Gunakan Kenaikan Anggaran untuk Bangun Pusat Keunggulan
Clipping from JBPTPPOLBAN / 2012-02-18 15:07:27
Oleh : (WIS), POLBAN
Dibuat : 2006-06-06, dengan 0 file
Keyword : anggaran pendidikan, subsidi, perguruan tinggi
JAKARTA, KOMPAS : Ketua Umum Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia Soedijarto mendesak pemerintah secepatnya merealisasi alokasi anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN. Tambahan anggaran yang signifikan itu diperlukan untuk pendidikan dasar yang bermutu.
"Juga untuk membangun pusat-pusat keunggulan di tingkat perguruan tinggi. Pemerintah perlu segera membuat analisis berapa biaya yang dibutuhkan agar pendidikan nasional bisa berjalan dengan betul," kata Soedijarto di Jakarta, akhir pekan lalu.
Sejumlah guru dan aktivis pendidikan, Rabu (31/5), mendesak DPR mengajukan usulan pemberhentian Presiden kepada MPR karena dinilai melakukan pelanggaran terhadap UUD 1945 berkaitan dengan ketentuan alokasi anggaran pendidikan.
Sampai saat ini, baik pemerintah maupun DPR belum membuat keputusan bagaimana merespons keputusan Mahkamah Konstitusi, yang menyatakan UU APBN 2006, sepanjang menyangkut anggaran pendidikan sebesar 9,1 persen sebagai batas tertinggi, bertentangan dengan UUD 1945.
Soedijarto mengakui adanya kekhawatiran ketidaksanggupan pemerintah mengelola peningkatan dana dalam pendidikan yang begitu besar. Peningkatan anggaran pendidikan harus dialokasikan untuk membiayai kegiatan-kegiatan yang benar-benar dibutuhkan, bukan untuk membuat bemacam-macam proyek atau untuk membangun gedung semata-mata.
"Kalau hanya itu yang dilakukan, anggaran seberapa pun akan habis lagi dan tidak banyak manfaatnya," kata Soedijarto.
Menurut dia, alokasi anggaran pendidikan sebesar 20 persen tak boleh dipergunakan untuk pemberian tunjangan atau insentif gaji guru atau dosen. Untuk menyelenggarakan wajib belajar sembilan tahun secara standar saja, kata Soedijarto, diperlukan anggaran tidak kurang dari Rp70 triliun. Anggaran itu dipergunakan untuk menyelenggarakan pendidikan dasar secara gratis, termasuk penyediaan buku pelajaran dan buku tulis bagi murid, buku-buku perpustakaan, dan buku pegangan untuk guru.
Peningkatan anggaran pendidikan, lanjut Soedijarto, mesti dialokasikan pula untuk membiayai perguruan tinggi, baik untuk memberikan subsidi kepada mahasiswa maupun untuk pengembangan riset. Menurut Soedijarto, pengeluaran pemerintah untuk membiayai mahasiswa di Indonesia baru sekitar Rp2 juta per orang masih terlalu kecil dan harus ditingkatkan menjadi sekitar Rp20 juta per mahasiswa. Dengan alokasi anggaran seperti itu, perguruan tinggi negeri bisa dikembalikan pada fungsinya semula, yaitu menampung putra-putra terbaik bangsa tanpa ada hambatan secara ekonomi.
"Anak-anak terpandai dari keluarga yang tidak mampu secara ekonomi harus memperoleh beasiswa, tidak hanya untuk biaya kuliah, tetapi juga untuk biaya hidup," tutur Soedijarto.
Ia mengatakan, pengelolaan perguruan tinggi negeri dengan status badan hukum milik negara tidak tepat diberlakukan. Otonomi kepada perguruan tinggi semestinya dikaitkan dengan otonomi secara akademik. Mereka diberi kebebasan untuk menyusun kurikulum dan program studi sendiri, bukan diberi disuruh mencari uang sendiri. Di Amerika Serikat sekalipun, kata Soedijarto, sekitar 70 persen biaya perguruan tinggi masih ditanggung pemerintah. Biaya yang dipungut dari mahasiswa hanya sekitar 10 persen.
"Jalur mampu bayar" dalam perekrutan mahasiswa di sejumlah perguruan tinggi negeri, menurut Soedijarto, menghilangkan kesempatan anak-anak cerdas dari masyarakat tak mampu memperoleh pendidikan tinggi. "Ini menghilangkan prinsip demokrasi dalam pendidikan," kata Soedijarto.***
JAKARTA, KOMPAS : Ketua Umum Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia Soedijarto mendesak pemerintah secepatnya merealisasi alokasi anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN. Tambahan anggaran yang signifikan itu diperlukan untuk pendidikan dasar yang bermutu.
"Juga untuk membangun pusat-pusat keunggulan di tingkat perguruan tinggi. Pemerintah perlu segera membuat analisis berapa biaya yang dibutuhkan agar pendidikan nasional bisa berjalan dengan betul," kata Soedijarto di Jakarta, akhir pekan lalu.
Sejumlah guru dan aktivis pendidikan, Rabu (31/5), mendesak DPR mengajukan usulan pemberhentian Presiden kepada MPR karena dinilai melakukan pelanggaran terhadap UUD 1945 berkaitan dengan ketentuan alokasi anggaran pendidikan.
Sampai saat ini, baik pemerintah maupun DPR belum membuat keputusan bagaimana merespons keputusan Mahkamah Konstitusi, yang menyatakan UU APBN 2006, sepanjang menyangkut anggaran pendidikan sebesar 9,1 persen sebagai batas tertinggi, bertentangan dengan UUD 1945.
Soedijarto mengakui adanya kekhawatiran ketidaksanggupan pemerintah mengelola peningkatan dana dalam pendidikan yang begitu besar. Peningkatan anggaran pendidikan harus dialokasikan untuk membiayai kegiatan-kegiatan yang benar-benar dibutuhkan, bukan untuk membuat bemacam-macam proyek atau untuk membangun gedung semata-mata.
"Kalau hanya itu yang dilakukan, anggaran seberapa pun akan habis lagi dan tidak banyak manfaatnya," kata Soedijarto.
Menurut dia, alokasi anggaran pendidikan sebesar 20 persen tak boleh dipergunakan untuk pemberian tunjangan atau insentif gaji guru atau dosen. Untuk menyelenggarakan wajib belajar sembilan tahun secara standar saja, kata Soedijarto, diperlukan anggaran tidak kurang dari Rp70 triliun. Anggaran itu dipergunakan untuk menyelenggarakan pendidikan dasar secara gratis, termasuk penyediaan buku pelajaran dan buku tulis bagi murid, buku-buku perpustakaan, dan buku pegangan untuk guru.
Peningkatan anggaran pendidikan, lanjut Soedijarto, mesti dialokasikan pula untuk membiayai perguruan tinggi, baik untuk memberikan subsidi kepada mahasiswa maupun untuk pengembangan riset. Menurut Soedijarto, pengeluaran pemerintah untuk membiayai mahasiswa di Indonesia baru sekitar Rp2 juta per orang masih terlalu kecil dan harus ditingkatkan menjadi sekitar Rp20 juta per mahasiswa. Dengan alokasi anggaran seperti itu, perguruan tinggi negeri bisa dikembalikan pada fungsinya semula, yaitu menampung putra-putra terbaik bangsa tanpa ada hambatan secara ekonomi.
"Anak-anak terpandai dari keluarga yang tidak mampu secara ekonomi harus memperoleh beasiswa, tidak hanya untuk biaya kuliah, tetapi juga untuk biaya hidup," tutur Soedijarto.
Ia mengatakan, pengelolaan perguruan tinggi negeri dengan status badan hukum milik negara tidak tepat diberlakukan. Otonomi kepada perguruan tinggi semestinya dikaitkan dengan otonomi secara akademik. Mereka diberi kebebasan untuk menyusun kurikulum dan program studi sendiri, bukan diberi disuruh mencari uang sendiri. Di Amerika Serikat sekalipun, kata Soedijarto, sekitar 70 persen biaya perguruan tinggi masih ditanggung pemerintah. Biaya yang dipungut dari mahasiswa hanya sekitar 10 persen.
"Jalur mampu bayar" dalam perekrutan mahasiswa di sejumlah perguruan tinggi negeri, menurut Soedijarto, menghilangkan kesempatan anak-anak cerdas dari masyarakat tak mampu memperoleh pendidikan tinggi. "Ini menghilangkan prinsip demokrasi dalam pendidikan," kata Soedijarto.***
Beri Komentar ?#(0) | Bookmark
Properti | Nilai Properti |
---|---|
ID Publisher | JBPTPPOLBAN |
Organisasi | POLBAN |
Nama Kontak | Helmi Purwanti |
Alamat | Jl. Trsn. Gegerkalong Hilir Ds. Ciwaruga |
Kota | Bandung |
Daerah | Jawa Barat |
Negara | Indonesia |
Telepon | 022 201 3789 ext. 168, 169, 239 |
Fax | 022 201 3889 |
E-mail Administrator | helmi.purwanti@polban.ac.id |
E-mail CKO | helmi.purwanti@polban.ac.id |
Print ...
Kontributor...
- Editor: