Path: Top > Electronics Clipping > PENDIDIKAN
Jangan Silau Pada Label Kompetensi
Clipping from JBPTPPOLBAN / 2012-02-18 15:07:22
Oleh : -----------------------, POLBAN
Dibuat : 2006-03-17, dengan 0 file
Keyword : Kurikulum, kompetensi, egaliter
JAKARTA, KOMPAS - Menyambut rencana pengembangan kurikulum yang mengacu pada standar ksi dan standar kompetensi lulusan rumusan Badan Standar Nasional Pendidikan, para guru hendaknya tidak perlu risau.
"Selaku ujung tombak pembelajaran yang pada dasarnya memang mengusung target kompetensi, para guru juga tidak sepantasnya silau pada label kompetensi yang tetap melekat pada kurikulum mendatang," ujar Rektor Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Bedjo Suyanto di Jakarta, akhir pekan lalu, sehubungan wisuda l.281 lulusan UNJ semester ganjil 2005/2006 pada hari Sabtu (1l/3).
Bedjo mengingatkan bahwa istilah "kompetensi" yang muncul pada Kurikulum 2004 dan akan tetap menjadi pijakan pada pengembangan kurikulum mendatang sebetulnya bukanlah hal luar biasa. Sebab, sebagai bagian dari rangkaian proses belajar-mengajar, kurikulum apa pun memang sudah sepatutnya membidik kompetensi.
Ia menambahkan, jika Kurikulum 2004 yang lazim disebut Kurikulum Berbasis Kompetensi alias KBK sempat diagung-agungkan sebagai pembawa paradigma baru--yang ditandai dengan menilai kemampuan siswa pada aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik--bukankah semua proses belajar-mengajar juga menekankan tiga aspek itu? Oleh karena itu, kata Bedjo, tidak sepantasnya rencana pengembangan dan penyempumaan kurikulum disambut demikian heboh, apalagi panik.
"Masalah utamanya tetap bergantung pada guru sebagai ujung tombak transformasi ilmu pengetahuan dan nilai-nilai di ruang kelas," paparnya.
Suasana egaliter
Yang perlu ditekankan dari penyempurnaan kurikulum, kata Bedjo, adalah bagaimana menumbuhkan motivasi belajar pada peserta didik dalam nuansa egaliter. Artinya, siswa harus bisa belajar dengan perasaan yang bebas dari tekanan. "Dalam mengembangkan kurikulum berdasarkan standar isi dan standar kompetensi lulusan, hal itu hendaknya diperhatikan oleh guru," katanya.
Ia mengamati, saat ini di sebagian besar sekolah, guru acap kali sulit membedakan antara siswa yang sudah paham dan siswa yang belum paham akan materi pelajaran. ltu lazim terjadi karena ada kecenderungan siswa takut berbicara di dalam kelas.
Ketika guru menanyakan siapa yang belum paham, misalnya, tidak ada siswa yang menyahut. Demikian pula ketika guru menanyakan siapa yang sudah paham.
"Ini karena siswa sudah terbiasa belajar dalam suasana tertekan," katanya.
la menegaskan bahwa dengan suasana belajar yang egaliter, siswa akan menjadi senang dan termotivasi mengikuti pelajaran.
Berkait dengan lahirnya Undang-Undang Guru dan Dosen yang mensyaratkan kompetensi pedagogik, profesional, kepribadian, dan sosial pada guru, Bedjo pun menegaskan perlunya setiap insan guru adaptif terhadap perkembangan zaman. Para guru hendaknya mampu menyesuaikan diri dengan dinamika masyarakat, terutama pemangku kepentingan bidang pendidikan.
Yang perlu diwaspadai, lanjut Bedjo, jangan sampai pengembangan kurikulum disusupi kepentingan komersial untuk memasarkan buku dan alat belajar. Jika guru bisa menyikapi kurikulum dengan arif, hal-hal seperti itu tentu bisa ditangkal.
"Sebab, kurikulum hanyalah patokan secara umum. Adapun bahan ajar yang relevan, tentu bisa dikembangkan sendiri oleh guru tanpa harus memberatkan siswa."***
JAKARTA, KOMPAS - Menyambut rencana pengembangan kurikulum yang mengacu pada standar ksi dan standar kompetensi lulusan rumusan Badan Standar Nasional Pendidikan, para guru hendaknya tidak perlu risau.
"Selaku ujung tombak pembelajaran yang pada dasarnya memang mengusung target kompetensi, para guru juga tidak sepantasnya silau pada label kompetensi yang tetap melekat pada kurikulum mendatang," ujar Rektor Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Bedjo Suyanto di Jakarta, akhir pekan lalu, sehubungan wisuda l.281 lulusan UNJ semester ganjil 2005/2006 pada hari Sabtu (1l/3).
Bedjo mengingatkan bahwa istilah "kompetensi" yang muncul pada Kurikulum 2004 dan akan tetap menjadi pijakan pada pengembangan kurikulum mendatang sebetulnya bukanlah hal luar biasa. Sebab, sebagai bagian dari rangkaian proses belajar-mengajar, kurikulum apa pun memang sudah sepatutnya membidik kompetensi.
Ia menambahkan, jika Kurikulum 2004 yang lazim disebut Kurikulum Berbasis Kompetensi alias KBK sempat diagung-agungkan sebagai pembawa paradigma baru--yang ditandai dengan menilai kemampuan siswa pada aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik--bukankah semua proses belajar-mengajar juga menekankan tiga aspek itu? Oleh karena itu, kata Bedjo, tidak sepantasnya rencana pengembangan dan penyempumaan kurikulum disambut demikian heboh, apalagi panik.
"Masalah utamanya tetap bergantung pada guru sebagai ujung tombak transformasi ilmu pengetahuan dan nilai-nilai di ruang kelas," paparnya.
Suasana egaliter
Yang perlu ditekankan dari penyempurnaan kurikulum, kata Bedjo, adalah bagaimana menumbuhkan motivasi belajar pada peserta didik dalam nuansa egaliter. Artinya, siswa harus bisa belajar dengan perasaan yang bebas dari tekanan. "Dalam mengembangkan kurikulum berdasarkan standar isi dan standar kompetensi lulusan, hal itu hendaknya diperhatikan oleh guru," katanya.
Ia mengamati, saat ini di sebagian besar sekolah, guru acap kali sulit membedakan antara siswa yang sudah paham dan siswa yang belum paham akan materi pelajaran. ltu lazim terjadi karena ada kecenderungan siswa takut berbicara di dalam kelas.
Ketika guru menanyakan siapa yang belum paham, misalnya, tidak ada siswa yang menyahut. Demikian pula ketika guru menanyakan siapa yang sudah paham.
"Ini karena siswa sudah terbiasa belajar dalam suasana tertekan," katanya.
la menegaskan bahwa dengan suasana belajar yang egaliter, siswa akan menjadi senang dan termotivasi mengikuti pelajaran.
Berkait dengan lahirnya Undang-Undang Guru dan Dosen yang mensyaratkan kompetensi pedagogik, profesional, kepribadian, dan sosial pada guru, Bedjo pun menegaskan perlunya setiap insan guru adaptif terhadap perkembangan zaman. Para guru hendaknya mampu menyesuaikan diri dengan dinamika masyarakat, terutama pemangku kepentingan bidang pendidikan.
Yang perlu diwaspadai, lanjut Bedjo, jangan sampai pengembangan kurikulum disusupi kepentingan komersial untuk memasarkan buku dan alat belajar. Jika guru bisa menyikapi kurikulum dengan arif, hal-hal seperti itu tentu bisa ditangkal.
"Sebab, kurikulum hanyalah patokan secara umum. Adapun bahan ajar yang relevan, tentu bisa dikembangkan sendiri oleh guru tanpa harus memberatkan siswa."***
Beri Komentar ?#(0) | Bookmark
Properti | Nilai Properti |
---|---|
ID Publisher | JBPTPPOLBAN |
Organisasi | POLBAN |
Nama Kontak | Erlin Arvelina |
Alamat | Jl. Trsn. Gegerkalong Hilir Ds. Ciwaruga |
Kota | Bandung |
Daerah | Jawa Barat |
Negara | Indonesia |
Telepon | 022 201 3789 ext. 168, 169, 239 |
Fax | 022 201 3889 |
E-mail Administrator | erlin.arvelina@polban.ac.id |
E-mail CKO | erlin.arvelina@polban.ac.id |
Print ...
Kontributor...
- Editor: