Path: Top > Electronics Clipping > ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI > ELEKTRONIKA, TELEKOMUNIKASI & LISTRIK
Elektronik Kian Merosot 88.000 Buruh Pabrik Terancam Menganggur
Clipping from JBPTPPOLBAN / 2013-12-16 14:01:28
Oleh : (BOY) , POLBAN
Dibuat : 2006-03-22, dengan 0 file
Keyword : Industri elektronik, produk elektronik
JAKARTA, KOMPAS - Penurunan pasar elektronik hingga 50 persen beberapa bulan terakhir telah memaksa produsen menurunkan produksi hingga 40 persen. Jika penurunan produksi berlanjut dalam beberapa bulan ke depan, sebanyak 88.000 dari 220.000 buruh pabrik elektronik bakal kehilangan pekerjaan.
Demikian diutarakan Ketua Umum Gabungan Elektronik (Gabel) Rachmat Gobel dalam jumpa pers seusai pertemuan dengan 15 produsen elektronik nasional di Jakarta, Kamis (16/3). Dalam pertemuan mengemuka persoalan stok barang elektronik yang menumpuk di pasar, seperti televisi, audio, atau kulkas.
Turut hadir dalam jumpa pers tersebut Direktur PT Panasonic Manufacturing Indonesia Heru Santoso, Presdir PT Panggung Electronics Indonesia (Akari) Ali Subroto, Dirut PT Star Cosmos Indonesia Alam Suryaputra, dan Country Area Manager PT Philips Electronics Indonesia Ina Hutasoit.
"Saat ini stok barang di toko sudah mengalami penumpukan yang cukup signifikan karena tertahan tiga bulan. Biasanya dalam keadaan normal, stok barang hanya sempat tertahan satu setengah bulan saja," ujar Rachmat.
Penurunan kegiatan produksi tidak hanya menimpa pabrik elektronik, tetapi juga telah membuat industri komponen mengurangi jam kerja. Bahkan penurunan pasar ini juga dirasakan usaha-usaha yang terlibat dalam industri elektronik, seperti pengusaha jasa pengangkutan.
Presdir PT Panggung Electronics Indonesia (Akari) Ali Subroto mengatakan, pasar lesu sejak pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak. Sejak itu daya beli masyarakat terus menurun dan berakibat pasar elektronik melemah.
Belum PHK
Rachmat mengatakan produsen tetap berkomitmen untuk tidak melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) hingga saat ini. Namun dengan pengurangan produksi, terpaksa tidak memperpanjang tenaga kontrakan, memindahkan ke perusahaan lain, memberikan pendidikan, atau merumahkan karyawan.
Akan tetapi, Ali tidak bisa memprediksi kapan pasar elektronik kembali menguat sehingga produsen tak, perlu melakukan PHK. Namun, dia memastikan angka penjualan pada bulan Februari merupakan kondisi pasar yang terburuk, tetapi bulan Maret belum tentu merupakan titik balik ke kondisi normal.
Namun, keputusan PHK tak dapat dicegah jika kondisi pasar terus menurun hingga beberapa bulan ke depan. Oleh karena itu,pemerintah harus memikirkan bagaimana menumbuhkan kembali pasar elektronik.
Lindungi pasar
Rachmat mendesak pemerintah untuk melindungi pasar di dalam negeri dengan cara mengawasi peredaran produk selundupan karena telah menyerobot pasar produsen elektronik. Selain itu, muncul tren baru, banyak produk televisi yang dijual murah di hipermarket ternyata memakai komponen barang bekas.
Oleh karena itu, pihak Gabel mendesak pemerintah untuk segera memberlakukan Standar Nasional Indonesia (SNI) pada produk elektronik. Selain itu mewajibkan setiap pedagang untuk mengenali vendor dan pabrik dari produk yang dijual.
"Jika pasar di dalam negeri dilindungi, sebenarnya sudah merupakan insentif yang signifikan bagi produsen elektronik di dalam negeri. Jadi, pemerintah harus segera menerapkan SNI wajib agar pasar dan konsumen terlindungi," ujar Rachmat.
Rugi kurs
Memburuknya pasar elektronik di dalam negeri, juga diperparah oleh ketidak stabilan kurs rupiah. Fluktuasi nilai kurs rupiah membuat pengusaha elektronik semakin khawatir dalam menjalankan kegiatan produksi.
"Kami berharap pemerintah melakukan upaya untuk menstabilkan nilai kurs rupiah pada kisaran Rp 9.200 hingga Rp 9.500 per dollar AS. Tujuannya agar industri bisa bersaing dan tidak tersungkur akibat rugi kurs karena penguatan nilai rupiah yang cepat," ujar Rachmat.
Sementara itu, Ali Subroto mengatakan, kerugian akibat fluktuasi nilai kurs rupiah akibat ketergantungan terhadap barang impor. Jika rupiah menguat, akan membuat produk menjadi murah. Padahal, saat mengimpor bahan baku harganya mahal karena nilai rupiah masili lemah.
"Dulu kita membeli bahan baku dengan kurs mendekati Rp 10.000 per dollar AS. Tetapi, sekarang kita harus menjual barang dengan nilai kurs rupiah sebesar Rp 9.000 per dollar AS. Berarti akan ada kerugian selisih kurs," ujar Ali Subroto.***
JAKARTA, KOMPAS - Penurunan pasar elektronik hingga 50 persen beberapa bulan terakhir telah memaksa produsen menurunkan produksi hingga 40 persen. Jika penurunan produksi berlanjut dalam beberapa bulan ke depan, sebanyak 88.000 dari 220.000 buruh pabrik elektronik bakal kehilangan pekerjaan.
Demikian diutarakan Ketua Umum Gabungan Elektronik (Gabel) Rachmat Gobel dalam jumpa pers seusai pertemuan dengan 15 produsen elektronik nasional di Jakarta, Kamis (16/3). Dalam pertemuan mengemuka persoalan stok barang elektronik yang menumpuk di pasar, seperti televisi, audio, atau kulkas.
Turut hadir dalam jumpa pers tersebut Direktur PT Panasonic Manufacturing Indonesia Heru Santoso, Presdir PT Panggung Electronics Indonesia (Akari) Ali Subroto, Dirut PT Star Cosmos Indonesia Alam Suryaputra, dan Country Area Manager PT Philips Electronics Indonesia Ina Hutasoit.
"Saat ini stok barang di toko sudah mengalami penumpukan yang cukup signifikan karena tertahan tiga bulan. Biasanya dalam keadaan normal, stok barang hanya sempat tertahan satu setengah bulan saja," ujar Rachmat.
Penurunan kegiatan produksi tidak hanya menimpa pabrik elektronik, tetapi juga telah membuat industri komponen mengurangi jam kerja. Bahkan penurunan pasar ini juga dirasakan usaha-usaha yang terlibat dalam industri elektronik, seperti pengusaha jasa pengangkutan.
Presdir PT Panggung Electronics Indonesia (Akari) Ali Subroto mengatakan, pasar lesu sejak pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak. Sejak itu daya beli masyarakat terus menurun dan berakibat pasar elektronik melemah.
Belum PHK
Rachmat mengatakan produsen tetap berkomitmen untuk tidak melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) hingga saat ini. Namun dengan pengurangan produksi, terpaksa tidak memperpanjang tenaga kontrakan, memindahkan ke perusahaan lain, memberikan pendidikan, atau merumahkan karyawan.
Akan tetapi, Ali tidak bisa memprediksi kapan pasar elektronik kembali menguat sehingga produsen tak, perlu melakukan PHK. Namun, dia memastikan angka penjualan pada bulan Februari merupakan kondisi pasar yang terburuk, tetapi bulan Maret belum tentu merupakan titik balik ke kondisi normal.
Namun, keputusan PHK tak dapat dicegah jika kondisi pasar terus menurun hingga beberapa bulan ke depan. Oleh karena itu,pemerintah harus memikirkan bagaimana menumbuhkan kembali pasar elektronik.
Lindungi pasar
Rachmat mendesak pemerintah untuk melindungi pasar di dalam negeri dengan cara mengawasi peredaran produk selundupan karena telah menyerobot pasar produsen elektronik. Selain itu, muncul tren baru, banyak produk televisi yang dijual murah di hipermarket ternyata memakai komponen barang bekas.
Oleh karena itu, pihak Gabel mendesak pemerintah untuk segera memberlakukan Standar Nasional Indonesia (SNI) pada produk elektronik. Selain itu mewajibkan setiap pedagang untuk mengenali vendor dan pabrik dari produk yang dijual.
"Jika pasar di dalam negeri dilindungi, sebenarnya sudah merupakan insentif yang signifikan bagi produsen elektronik di dalam negeri. Jadi, pemerintah harus segera menerapkan SNI wajib agar pasar dan konsumen terlindungi," ujar Rachmat.
Rugi kurs
Memburuknya pasar elektronik di dalam negeri, juga diperparah oleh ketidak stabilan kurs rupiah. Fluktuasi nilai kurs rupiah membuat pengusaha elektronik semakin khawatir dalam menjalankan kegiatan produksi.
"Kami berharap pemerintah melakukan upaya untuk menstabilkan nilai kurs rupiah pada kisaran Rp 9.200 hingga Rp 9.500 per dollar AS. Tujuannya agar industri bisa bersaing dan tidak tersungkur akibat rugi kurs karena penguatan nilai rupiah yang cepat," ujar Rachmat.
Sementara itu, Ali Subroto mengatakan, kerugian akibat fluktuasi nilai kurs rupiah akibat ketergantungan terhadap barang impor. Jika rupiah menguat, akan membuat produk menjadi murah. Padahal, saat mengimpor bahan baku harganya mahal karena nilai rupiah masili lemah.
"Dulu kita membeli bahan baku dengan kurs mendekati Rp 10.000 per dollar AS. Tetapi, sekarang kita harus menjual barang dengan nilai kurs rupiah sebesar Rp 9.000 per dollar AS. Berarti akan ada kerugian selisih kurs," ujar Ali Subroto.***
Beri Komentar ?#(0) | Bookmark
Properti | Nilai Properti |
---|---|
ID Publisher | JBPTPPOLBAN |
Organisasi | POLBAN |
Nama Kontak | Erlin Arvelina |
Alamat | Jl. Trsn. Gegerkalong Hilir Ds. Ciwaruga |
Kota | Bandung |
Daerah | Jawa Barat |
Negara | Indonesia |
Telepon | 022 201 3789 ext. 168, 169, 239 |
Fax | 022 201 3889 |
E-mail Administrator | erlin.arvelina@polban.ac.id |
E-mail CKO | erlin.arvelina@polban.ac.id |
Print ...
Kontributor...
- Editor: