Path: Top > Electronics Clipping > ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI > ELEKTRONIKA, TELEKOMUNIKASI & LISTRIK
Nyala Lampu Hanya Seperti Benang Terbakar
Clipping from JBPTPPOLBAN / 2013-12-16 14:01:28
Oleh : (D03/DOl/D14) , POLBAN
Dibuat : 2006-04-04, dengan 0 file
Keyword : ketersediaan listrik, turbin, energi alternatif
Bagi sebagian besar manusia modern, ketersediaan listrik sudah menjadi harga mati. Sekalinya aliran listrik padam, mereka sudah kebingungan. Hampir semua peralatan yang ada di rumah hanya bisa berfungsi jika dialiri listrik.
Televisi, komputer, tape, lemari es, kipas angin, sampai pengering rambut tidak bisa digunakan tanpa adanya aliran listrik. Tingkat ketergantungan manusia terhadap listrik makin lama makin tinggi. Di daerah perkotaan hampir semua rumah penduduk telah dialiri listrik, tetapi tidak demikian dengan nasib warga Kampung Cipelang, Desa Sudajaya Girang, Kabupaten Sukabumi.
Sebanyak 40 keluarga yang menempati 33 rumah di kampung itu belum menerima pelayanan dari Perusahaan Listrik Negara (PLN). Jalan menuju kampung tersebut memang sulit dijangkau karena ruas jalan ke arah kampung itu masih berupa tanah dan bebatuan.
Karena sangat menginginkan rumahnya mendapatkan aliran listrik, masyarakat berinisiatif membuat turbin yang digerakkan oleh aliran air. Aliran air dari Gunung Gede yang melalui kampung itu memang tak pernah surut sepanjang tahun. Pemerintah desa pun memberikan bantuan sebesar Rp 15 juta untuk pembuatan bendungan kecil, saluran air, dan kincir.
Sejak dua bulan lalu seluruh warga bergotong-royong mengerjakan proyek sederhana itu dengan satu tekad untuk bisa merasakan nikmatnya menggunakan tenaga listrik.
Siang-malam warga sibuk mengerjakan proyek listrik tersebut. Beberapa kali bendungan kecil yang digunakan untuk menampung air terkena longsoran sehingga harus diperbaiki warga.
Meski demikian, instalasi listrik di dalam dan di luar rumah warga sudah bisa disambungkan. Kendati hanya memanfaatkan tiang kayu, instalasi listrik di luar rumah warga terlihat rapi seperti halnya jaringan listrik milik PLN.
Namun, hasil akhir proyek pembuatan pembangkit listrik tenaga air itu tidak seperti yang diharapkan warga. Pasalnya, hasil kerja keras warga itu ternyata tidak mampu menghasilkan tenaga listrik yang optimal.
Sejumlah warga yang didatangi Kompas di kampung tersebut, Rabu (29/3), mengeluhkan kondisi tersebut. Ketua RT 03 Kampung Cipelang, Vei Sanusi, mengatakan, kincir air itu tak mampu menghasilkan energi listrik seperti yang diharapkan.
"Kita semua yang bergotong-royong mengerjakan kincir air itu juga tidak tahu di mana penyebabnya. Padahal, kita berharap kerja keras warga akan membuahkan hasil," ujar Vei.
Karena tak bisa berfungsi dengan baik, tegangan listrik yang dihasilkannya pun sangat rendah. Sekedar untuk mendapat penerangan di malam hari juga tidak terwujud.
Lampu listrik berkekuatan 20 watt yang dialiri listrik di kampung itu hanya menyala seperti benang jahit yang terbakar. Pijar lampu tidak bisa menerangi kegelapan malam di kampung itu. Nurhalimah (31), seorang warga, menuturkan, pada malam hari mereka masih tetap menyalakan lampu petromaks untuk penerangan rumah.
"Kalau menyalakan lampu listrik, sama saja rumah kami gelap. Jauh lebih terang menggunakan lampu petromaks," ujarnya.
Televisi yang sudah menjadi barang biasa bagi sebagian masyarakat, terutama di daerah kota, di kampung itu masih menjadi barang langka.
Sebagian warga Kampung Cipelang yang sangat ingin menyaksikan televisi terpaksa membeli televisi hitam putih karena bisa menggunakan aki.
Energi alternatif
Sementara itu, transmigran lokal di Blok Sukamaju, Desa Mekarjaya, Kecamatan Kertajati, Kabupaten Majalengka, kini sudah bisa mulai menikmati listrik.
Listrik ini merupakan hasil pengembangan energi alternatif berupa panas matahari yang dikonversi menjadi energi listrik.
"Dengan daya 50 watt, kami sudah bisa menyalakan televisi hitam putih dan dua buah lampu tabung 10 watt. Anak-anak pun sudah bisa belajar saat malam hari," ujar Dayat, seorang warga Sukamaju.
Dari 150 keluarga di lokasi transmigrasi lokal dan eksodan ini, 75 persen di antaranya sudah bisa menikmati listrik tenaga surya yang dibangun oleh Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Jawa Barat.
Lokasi permukiman di Unit Permukiman
Transmigrasi (UPT) Sukamaju adalah lokasi tempat penampungan transmigrasi lokal dari eksodan asal daerah konflik di Indonesia seperti dari Aceh, Kalimantan, Papua, dan Maluku.
UPT itu dibangun pada awal tahun 2000 lalu, dan dihuni oleh sekitar 582 orang yang tercakup dalam 150 keluarga.
Teknologi yang digunakan terbilang sederhana, yaitu sebuah solar module, satu buah baterai kontrol unit (12 volt), satu buah pengatur elektrik, dan satu buah baterai bak (aki 12 volt).
Sebanyak 75 rumah di antaranya sudah dialiri listrik dengan sel solar berukuran 60 x 40 sentimeter. Sel solar ini bias menghasilkan daya 50 watt yang disimpan dalam aki basah.
Namun sebagian warga lainnya sedikit kecewa. Pasalnya, 40 rumah yang memperoleh listrik untuk tahun anggaran 2005 hanya mendapatkan sel solar yang lebih kecil dengan daya sebesar 10 watt.
"Yang bisa saya nyalakan hanya dua buah lampu lima watt. Jadi, kalau malam rumah saya masih tetap remang-remang. Jangankan digunakan anak untuk membaca, melihat nasi dan lauk pun warnanya tampak hitam semua," ujar Tarmin, salah seorang warga.
Pemasangan instalasi listrik ini sudah dilaksanakan tiga tahap sejak tahun 2003. "Tahun anggaran 2006, sisa rumah lainnya juga akan memperoleh listrik tenaga surya," kata Tubagus Nugraha, Kepala Seksi Data dan Informasi Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Jabar.
"Produk yang terakhir ini memang dayanya masih kecil, namun itu dalam tahap uji coba. Keunggulannya adalah karena menggunakan aki kering sehinga bisa tahan sampai delapan tahun. Berbeda dengan sel solar sebelumnya yang butuh perawatan lebih banyak karena menggunakan aki basah. Setelah dievaluasi, daya sel solar dengan aki kering ini bisa diperbesar," kata Nugraha menjelaskan.***
Bagi sebagian besar manusia modern, ketersediaan listrik sudah menjadi harga mati. Sekalinya aliran listrik padam, mereka sudah kebingungan. Hampir semua peralatan yang ada di rumah hanya bisa berfungsi jika dialiri listrik.
Televisi, komputer, tape, lemari es, kipas angin, sampai pengering rambut tidak bisa digunakan tanpa adanya aliran listrik. Tingkat ketergantungan manusia terhadap listrik makin lama makin tinggi. Di daerah perkotaan hampir semua rumah penduduk telah dialiri listrik, tetapi tidak demikian dengan nasib warga Kampung Cipelang, Desa Sudajaya Girang, Kabupaten Sukabumi.
Sebanyak 40 keluarga yang menempati 33 rumah di kampung itu belum menerima pelayanan dari Perusahaan Listrik Negara (PLN). Jalan menuju kampung tersebut memang sulit dijangkau karena ruas jalan ke arah kampung itu masih berupa tanah dan bebatuan.
Karena sangat menginginkan rumahnya mendapatkan aliran listrik, masyarakat berinisiatif membuat turbin yang digerakkan oleh aliran air. Aliran air dari Gunung Gede yang melalui kampung itu memang tak pernah surut sepanjang tahun. Pemerintah desa pun memberikan bantuan sebesar Rp 15 juta untuk pembuatan bendungan kecil, saluran air, dan kincir.
Sejak dua bulan lalu seluruh warga bergotong-royong mengerjakan proyek sederhana itu dengan satu tekad untuk bisa merasakan nikmatnya menggunakan tenaga listrik.
Siang-malam warga sibuk mengerjakan proyek listrik tersebut. Beberapa kali bendungan kecil yang digunakan untuk menampung air terkena longsoran sehingga harus diperbaiki warga.
Meski demikian, instalasi listrik di dalam dan di luar rumah warga sudah bisa disambungkan. Kendati hanya memanfaatkan tiang kayu, instalasi listrik di luar rumah warga terlihat rapi seperti halnya jaringan listrik milik PLN.
Namun, hasil akhir proyek pembuatan pembangkit listrik tenaga air itu tidak seperti yang diharapkan warga. Pasalnya, hasil kerja keras warga itu ternyata tidak mampu menghasilkan tenaga listrik yang optimal.
Sejumlah warga yang didatangi Kompas di kampung tersebut, Rabu (29/3), mengeluhkan kondisi tersebut. Ketua RT 03 Kampung Cipelang, Vei Sanusi, mengatakan, kincir air itu tak mampu menghasilkan energi listrik seperti yang diharapkan.
"Kita semua yang bergotong-royong mengerjakan kincir air itu juga tidak tahu di mana penyebabnya. Padahal, kita berharap kerja keras warga akan membuahkan hasil," ujar Vei.
Karena tak bisa berfungsi dengan baik, tegangan listrik yang dihasilkannya pun sangat rendah. Sekedar untuk mendapat penerangan di malam hari juga tidak terwujud.
Lampu listrik berkekuatan 20 watt yang dialiri listrik di kampung itu hanya menyala seperti benang jahit yang terbakar. Pijar lampu tidak bisa menerangi kegelapan malam di kampung itu. Nurhalimah (31), seorang warga, menuturkan, pada malam hari mereka masih tetap menyalakan lampu petromaks untuk penerangan rumah.
"Kalau menyalakan lampu listrik, sama saja rumah kami gelap. Jauh lebih terang menggunakan lampu petromaks," ujarnya.
Televisi yang sudah menjadi barang biasa bagi sebagian masyarakat, terutama di daerah kota, di kampung itu masih menjadi barang langka.
Sebagian warga Kampung Cipelang yang sangat ingin menyaksikan televisi terpaksa membeli televisi hitam putih karena bisa menggunakan aki.
Energi alternatif
Sementara itu, transmigran lokal di Blok Sukamaju, Desa Mekarjaya, Kecamatan Kertajati, Kabupaten Majalengka, kini sudah bisa mulai menikmati listrik.
Listrik ini merupakan hasil pengembangan energi alternatif berupa panas matahari yang dikonversi menjadi energi listrik.
"Dengan daya 50 watt, kami sudah bisa menyalakan televisi hitam putih dan dua buah lampu tabung 10 watt. Anak-anak pun sudah bisa belajar saat malam hari," ujar Dayat, seorang warga Sukamaju.
Dari 150 keluarga di lokasi transmigrasi lokal dan eksodan ini, 75 persen di antaranya sudah bisa menikmati listrik tenaga surya yang dibangun oleh Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Jawa Barat.
Lokasi permukiman di Unit Permukiman
Transmigrasi (UPT) Sukamaju adalah lokasi tempat penampungan transmigrasi lokal dari eksodan asal daerah konflik di Indonesia seperti dari Aceh, Kalimantan, Papua, dan Maluku.
UPT itu dibangun pada awal tahun 2000 lalu, dan dihuni oleh sekitar 582 orang yang tercakup dalam 150 keluarga.
Teknologi yang digunakan terbilang sederhana, yaitu sebuah solar module, satu buah baterai kontrol unit (12 volt), satu buah pengatur elektrik, dan satu buah baterai bak (aki 12 volt).
Sebanyak 75 rumah di antaranya sudah dialiri listrik dengan sel solar berukuran 60 x 40 sentimeter. Sel solar ini bias menghasilkan daya 50 watt yang disimpan dalam aki basah.
Namun sebagian warga lainnya sedikit kecewa. Pasalnya, 40 rumah yang memperoleh listrik untuk tahun anggaran 2005 hanya mendapatkan sel solar yang lebih kecil dengan daya sebesar 10 watt.
"Yang bisa saya nyalakan hanya dua buah lampu lima watt. Jadi, kalau malam rumah saya masih tetap remang-remang. Jangankan digunakan anak untuk membaca, melihat nasi dan lauk pun warnanya tampak hitam semua," ujar Tarmin, salah seorang warga.
Pemasangan instalasi listrik ini sudah dilaksanakan tiga tahap sejak tahun 2003. "Tahun anggaran 2006, sisa rumah lainnya juga akan memperoleh listrik tenaga surya," kata Tubagus Nugraha, Kepala Seksi Data dan Informasi Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Jabar.
"Produk yang terakhir ini memang dayanya masih kecil, namun itu dalam tahap uji coba. Keunggulannya adalah karena menggunakan aki kering sehinga bisa tahan sampai delapan tahun. Berbeda dengan sel solar sebelumnya yang butuh perawatan lebih banyak karena menggunakan aki basah. Setelah dievaluasi, daya sel solar dengan aki kering ini bisa diperbesar," kata Nugraha menjelaskan.***
Beri Komentar ?#(0) | Bookmark
Properti | Nilai Properti |
---|---|
ID Publisher | JBPTPPOLBAN |
Organisasi | POLBAN |
Nama Kontak | Erlin Arvelina |
Alamat | Jl. Trsn. Gegerkalong Hilir Ds. Ciwaruga |
Kota | Bandung |
Daerah | Jawa Barat |
Negara | Indonesia |
Telepon | 022 201 3789 ext. 168, 169, 239 |
Fax | 022 201 3889 |
E-mail Administrator | erlin.arvelina@polban.ac.id |
E-mail CKO | erlin.arvelina@polban.ac.id |
Print ...
Kontributor...
- Editor: