Path: Top > Electronics Clipping > PENDIDIKAN
Bangun Karakter Lewat Penciptaan Kultur Sekolah
Pendidikan Watak Harus Terintegrasi
Clipping from JBPTPPOLBAN / 2012-02-18 15:07:21
Oleh : (INE), POLBAN
Dibuat : 2006-03-10, dengan 0 file
Keyword : Pendidikan, karakter, kognitif
JAKARTA, KOMPAS - Sekolah sebagai lingkungan kedua anak dalam kehidupan sehari-hari dapat menjadi tempat pembangunan karakter dan watak. Salah satu cara ialah dengan menciptakan kultur sekolah. Caranya, sekolah memberikan nuansa dan atmosfer yang mendukung upaya untuk menginternalisasi nilai dan etika yang hendak ditanamkan.
Hal itu dikemukakan oleh pengamat pendidikan HAR Tilaar di Jakarta, Selasa (7/3). Pendidikan watak dan karakter yang ditanamkan, menurut dia, antara lain agar anak mampu menjalani kehidupan bersama dalam bermasyarakat dengan segala keragamannya.
Pembangunan watak bukan melalui hal-hal abstrak, melainkan harus konkret dalam perilaku kehidupan sehari-hari. Belajar budi pekerti misalnya, bukan belajar pengetahuan mengenai budi pekerti melainkan memberikan contoh perilaku sesuai dengan nilai-nilai serta etika yang ingin ditanamkan.
"Sebagai contoh,jika ingin menanamkan watak disiplin maka jangan sampai ada guru yang terlambat mengajar. Untuk itu memang tidak mudah karena seluruh warga sekolah harus berkomitmen," kata Tilaar. Jika guru tidak konsisten, niscaya nilai kedisiplinan itu tidak tertanam, apalagi membuahkan perilaku yang diinginkan.
Hal serupa dikemukakan pakar pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Anah Suhaenah. Karakter yang ingin ditransfer kepada anak, menurut dia, harus dapat terlihat dalam visi dan misi sekolah.
"Namun, tentu saja hal tersebut harus diterjemahkan dalam kegiatan pembelajaran. Ini akan tergambar dalam kurikulum yang nyatanya menjadi pengalaman anak sehari-hari," ujarnya.
Dominasi kognitif
HAR Tilaar menambahkan, pendidikan yang didominasi oleh pembangunan kognitif hasilnya ialah manusia yang pragmatis. Anak hanya akan memikirkan untung rugi tanpa pertimbangan nilai dan etika. Berbagai kompetensi yang dirumuskan ujungnya hanya mempersiapkan anak agar siap pakai dan dapat bersaing di pasaran tenaga kerja.
Terlebih lagi ketika evaluasi pendidikan hanya mementingkan penguasaan kognitif. Kondisi itu menghabiskan konsentrasi anak, guru, serta sekolah demi mengejar target penilaian.
Anak tidak mempunyai ruang dan waktu untuk merefleksikan dan mengintemalisasi nilai-nilai. Dengan kata lain mematikan kemampuan Refleksi independen anak," ujar HAR Tilaar.
Tanpa pendidikan watak tersebut, peserta didik kelak hanya memikirkan kepentingan dan keuntungan diri sendiri. "Gagalnya pendidikan karakter itu dapat dilihat antara lain dari menjamurnya korupsi, kolusi, egosentrisme, dan matrealistis," katanya.
Intelektual yang tinggi saja, menurut Anah Suhaenah, tidak mencukupi. "Contoh kecil, seorang yang ahli listrik tanpa kepribadian yang baik dapat menjadi seorang pencuri listrik negara dengan segala teknik akal-akalannya," katanya.
Secara terpisah, Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung Mohammad Ali berpendapat, pendidikan watak dapat saja dimasukkan ke dalam kurikulum, namun jangan dikotakkan ke dalam satu mata pelajaran. Pendidikan watak harus terintegrasi dalam berbagai mata pelajaran.
"Jika dipisahkan secara eksplisit maka akan terjebak ke dalam formalitas seperti pelajaran budi pekerti dan ujungnya hanya mencari nilai bagus untuk rapor," katanya.
Selain itu, tambahnya, pendidikan watak tidak terbatas kepada aktivitas formal di dalam kelas, pembangunan karakter bahkan mendapatkan ruang dalam berbagai kegiatan ekstrakurikuler.***
JAKARTA, KOMPAS - Sekolah sebagai lingkungan kedua anak dalam kehidupan sehari-hari dapat menjadi tempat pembangunan karakter dan watak. Salah satu cara ialah dengan menciptakan kultur sekolah. Caranya, sekolah memberikan nuansa dan atmosfer yang mendukung upaya untuk menginternalisasi nilai dan etika yang hendak ditanamkan.
Hal itu dikemukakan oleh pengamat pendidikan HAR Tilaar di Jakarta, Selasa (7/3). Pendidikan watak dan karakter yang ditanamkan, menurut dia, antara lain agar anak mampu menjalani kehidupan bersama dalam bermasyarakat dengan segala keragamannya.
Pembangunan watak bukan melalui hal-hal abstrak, melainkan harus konkret dalam perilaku kehidupan sehari-hari. Belajar budi pekerti misalnya, bukan belajar pengetahuan mengenai budi pekerti melainkan memberikan contoh perilaku sesuai dengan nilai-nilai serta etika yang ingin ditanamkan.
"Sebagai contoh,jika ingin menanamkan watak disiplin maka jangan sampai ada guru yang terlambat mengajar. Untuk itu memang tidak mudah karena seluruh warga sekolah harus berkomitmen," kata Tilaar. Jika guru tidak konsisten, niscaya nilai kedisiplinan itu tidak tertanam, apalagi membuahkan perilaku yang diinginkan.
Hal serupa dikemukakan pakar pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Anah Suhaenah. Karakter yang ingin ditransfer kepada anak, menurut dia, harus dapat terlihat dalam visi dan misi sekolah.
"Namun, tentu saja hal tersebut harus diterjemahkan dalam kegiatan pembelajaran. Ini akan tergambar dalam kurikulum yang nyatanya menjadi pengalaman anak sehari-hari," ujarnya.
Dominasi kognitif
HAR Tilaar menambahkan, pendidikan yang didominasi oleh pembangunan kognitif hasilnya ialah manusia yang pragmatis. Anak hanya akan memikirkan untung rugi tanpa pertimbangan nilai dan etika. Berbagai kompetensi yang dirumuskan ujungnya hanya mempersiapkan anak agar siap pakai dan dapat bersaing di pasaran tenaga kerja.
Terlebih lagi ketika evaluasi pendidikan hanya mementingkan penguasaan kognitif. Kondisi itu menghabiskan konsentrasi anak, guru, serta sekolah demi mengejar target penilaian.
Anak tidak mempunyai ruang dan waktu untuk merefleksikan dan mengintemalisasi nilai-nilai. Dengan kata lain mematikan kemampuan Refleksi independen anak," ujar HAR Tilaar.
Tanpa pendidikan watak tersebut, peserta didik kelak hanya memikirkan kepentingan dan keuntungan diri sendiri. "Gagalnya pendidikan karakter itu dapat dilihat antara lain dari menjamurnya korupsi, kolusi, egosentrisme, dan matrealistis," katanya.
Intelektual yang tinggi saja, menurut Anah Suhaenah, tidak mencukupi. "Contoh kecil, seorang yang ahli listrik tanpa kepribadian yang baik dapat menjadi seorang pencuri listrik negara dengan segala teknik akal-akalannya," katanya.
Secara terpisah, Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung Mohammad Ali berpendapat, pendidikan watak dapat saja dimasukkan ke dalam kurikulum, namun jangan dikotakkan ke dalam satu mata pelajaran. Pendidikan watak harus terintegrasi dalam berbagai mata pelajaran.
"Jika dipisahkan secara eksplisit maka akan terjebak ke dalam formalitas seperti pelajaran budi pekerti dan ujungnya hanya mencari nilai bagus untuk rapor," katanya.
Selain itu, tambahnya, pendidikan watak tidak terbatas kepada aktivitas formal di dalam kelas, pembangunan karakter bahkan mendapatkan ruang dalam berbagai kegiatan ekstrakurikuler.***
Beri Komentar ?#(0) | Bookmark
Properti | Nilai Properti |
---|---|
ID Publisher | JBPTPPOLBAN |
Organisasi | POLBAN |
Nama Kontak | Erlin Arvelina |
Alamat | Jl. Trsn. Gegerkalong Hilir Ds. Ciwaruga |
Kota | Bandung |
Daerah | Jawa Barat |
Negara | Indonesia |
Telepon | 022 201 3789 ext. 168, 169, 239 |
Fax | 022 201 3889 |
E-mail Administrator | erlin.arvelina@polban.ac.id |
E-mail CKO | erlin.arvelina@polban.ac.id |
Print ...
Kontributor...
- Editor: