Path: Top > Electronics Clipping > BISNIS DAN EKONOMI
Mencari Solusi Optimal Persoalan Ketenagakerjaan
Clipping from JBPTPPOLBAN / 2013-12-16 13:46:07
Oleh : Faisal Basri, POLBAN
Dibuat : 2006-04-05, dengan 0 file
Keyword : Corn Law, permodalan, liberalisasi finansial
Perang antara Inggris dan Perancis membuat pasokan pangan dari Perancis ke Inggris praktis terhenti sehingga membuat harga pangan di Inggris melonjak. Sehabis perang, kaum tuan tanah Inggris merasa terancam dengan pulihnya pasokan pangan dari Inggris. Untuk mtmghambat aliran pangan dari Perancis, kaum tuan tanah Inggris berhasil melobi parlemennya untuk melahirkan undang-undang yang membatasi impor pangan. Undang-undang ini dikenal dengan Corn Law.
Harga pangan yang tinggi membuat daya beli pekerja melorot sehingga kaum buruh menuntut kenaikan upah. Menghadapi tekanan ini, kaum industriwan tak tinggal diam. Mereka berjuang di parlemen agar Corn Law dicabut. Salah satu wakil mereka di parlemen ialah David Ricardo (1772-1823) yang dikenal dalam khazanah pemikiran ekonomi modern sebagai bapak ekonomi-politik. Dengan argumentasinya yang memukau, dia memperkenalkan prinsip keunggulan komparatif untuk menentang keberadaan Corn Law. Akhirnya undang-undang yang proteksionistik itu dicabut.
Perjuangan menentang Corn Law telah mempersatukan kepentingan kalangan industriwan dan buruh. Kedua golongan berada di satu kubu melawan musuh bersama, yakni praktik yang mengekang roda produksi yang sedang melaju kencang setelah revolusi industri di Inggris.
Sejarah mencatat pula bahwa kalangan pemodal dan kaum buruh kerap sejalan dalam memperjuangkan demokratisasi. Rezim otoriter ataupun oligarki pada umumnya tak membuka persaingan sehat sehingga membatasi akses berusaha dan dengan demikian membuka lapangan kerja yang seluas-luasnya. Rezim otoriter juga kerap "memeras" pengusaha untuk mempertahankan kekuasaannya. Selain itu, rezim otoriter cenderung memberangus kebebasan berserikat sehingga kaum pekerja tidak bisa memperjuangkan kepentingan kolektifnya secara efektif.
Memacu investasi
Perjuangan seluruh elemen masyarakat telah membawa kita pada era demokratisasi. Para pekerja bebas berserikat. Era proteksionisme dan peran negara yang berlebihan dalam mendikte pasar telah berlalu. Saatnya sekarang kita bahu-membahu menghadapi musuh bersama yang membuat kita tetap terseok-seok.
Tantangan yang kita hadapi ialah bagaimana memacu investasi sebagai ujung tombak pertumbuhan ekonomi. Untuk itu, kita harus terlebih dahulu memobilisasi potensi yang telah kita miliki, antara lain dengan memanfaatkan sumber pembiayaan dalam negeri, baik dari perbankan maupun lembaga-lembaga keuangan nonperbankan. Laju peningkatan kredit yang melambat selama tahun 2005 menjadi salah satu penyebab dari melemahnya pertumbuhan investasi.
Tantangan berikutnya ialah bagaimana memacu kredit untuk meningkatkan kapasitas produksi, karena sejauh ini pertumbuhan kredit investasi justru yang paling lambat dibandingkan dengan pertumbuhan kredit konsumsi dan kredit modal kerja. Apakah kondisi ini disebabkan semata-mata oleh masalah yang dihadapi Bank Mandiri dan Bank BNI, atau karena perbankan kita makin didominasi oleh pemilikan asing? Apakah struktur pemilikan yang makin didominasi asing dan kinerja perbankan yang kurang menggembirakan dalam hal penyalinan kredit ini terkait dengan penerapan Arsitektur Perbankan Indonesia (API) yang sangat bias pada aspek permodalan?
Pertanyaan-pertanyaan strategis ini patut memperoleh perhatian agar kita tak semakin tersesat di belantara globalisasi dan liberalisasi finansial. Apa gunanya rasio kecukupan modal perbankan kita tinggi di sekitar 20 persen-sementara di Korea saja hanya 13 persen-kalau fungsi intermediasinya tetap lemah.
Peranan modal asing langsung masih tetap kita butuhkan. Bukan saja semata-mata untuk menutup celah tabungan-investasi (saving-investment gap), melainkan juga untuk tujuan alih teknologi dan pengetahuan serta pembukaan akses pasar.
Berdasarkan beberapa survei persepsi terhadap kalangan pengusaha, tampaknya persoalan regulasi ketenagakerjaan di tingkat pusat maupun daerah bukanlah menjadi perintang utama di mata investor. Yang lebih menjadi perintang ialah ketakstabilan dan ketakstabilan makroekonomi, korupsi di tingkat pusat maupun daerah, serta perpajakan. Untuk memacu investasi, pemerintah sepatutnya lebih berkonsentrasi untuk memecahkan persoalan-persoalan tersebut.
Persoalan ketenagakerjaan terutama banyak muncul di industri-industri tertentu yang bersifat padat karya. Masalahnya pun pada umumnya terbatas pada persoalan tingkat upah. Industri-industri ini semakin tak memiliki ruang gerak untuk menaikkan tingkat upah karena didera oleh berbagai tekanan dari segala arah. Mulai dari persaingan dengan barang-barang impor legal maupun ilegal, kenaikan biaya produksi yang bertubi-tubi, hingga tidak kondusifnya kebijakan industrial dan perdagangan.
Perkuat institusi
Cara terbaik untuk menyelesaikan masalah ketenagakerjaan khususnya dan masalah perekonomian umumnya ialah dengan memperkuat institusi. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 mengandung banyak kelemahan. Pada tahap pembahasan di DPR, rancangan undang-un dang ini banyak menimbulkan protes dari kedua belah. pihak, baik kalangan buruh sendiri maupun kalangan pengusaha.
Saatnyalah sekarang seluruh elemen bangsa duduk bersama, menghimpun kekuatan yang tercecer, membangun fondasi yang kokoh bagi penguatan daya saing yang bertumpu pada optimalisasi sumber daya yang kita miliki lebih dari cukup untuk meningkatkan kesejahteraan umum.
Mayoritas buruh kita berpendidikan sekolah menengah pertama ke bawah. Mereka butuh perlindungan untuk sekadar hidup di tingkat subsistem. Kita harus keluar dari paradigma mendikotomikan pengusaha versus buruh. Pengusaha butuh kepastian dan fleksibilitas. Buruh butuh jaminan hidup layak. Bukankah kita punya negara yang bisa menjembatani kepentingan azali keduanya. Bukankah negara berkewajiban membangun sistem pasar yang tak hanya bertopang pada pilar market creating semata, melainkan harus pula membangun tiga pilar lainnya, yakni market stabilizing, market regulating, dan market legitimizing?
Pilar keempat, yakni market legitimizing, tampaknya yang selama ini terabaikan dalam kontroversi penyikapan atas rencana revisi Undang-Undang Nomor 13/2003. Untuk mewujudkan pilar keempat ini, revisi tak hanya terbatas pada Undang-Undang No 13/2003, melainkan juga harus meliputi Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional tahun 2004 serta reformasi total keberadaan PT Jamsostek yang notabene dananya berasal dari pengusaha dan keringat pekerja.
Dengan empat pilar sistem pasar inilah kita bisa membangun sosok perekonomian yang menjamin terpenuhinya sense of justice dan sense of equity.***
Perang antara Inggris dan Perancis membuat pasokan pangan dari Perancis ke Inggris praktis terhenti sehingga membuat harga pangan di Inggris melonjak. Sehabis perang, kaum tuan tanah Inggris merasa terancam dengan pulihnya pasokan pangan dari Inggris. Untuk mtmghambat aliran pangan dari Perancis, kaum tuan tanah Inggris berhasil melobi parlemennya untuk melahirkan undang-undang yang membatasi impor pangan. Undang-undang ini dikenal dengan Corn Law.
Harga pangan yang tinggi membuat daya beli pekerja melorot sehingga kaum buruh menuntut kenaikan upah. Menghadapi tekanan ini, kaum industriwan tak tinggal diam. Mereka berjuang di parlemen agar Corn Law dicabut. Salah satu wakil mereka di parlemen ialah David Ricardo (1772-1823) yang dikenal dalam khazanah pemikiran ekonomi modern sebagai bapak ekonomi-politik. Dengan argumentasinya yang memukau, dia memperkenalkan prinsip keunggulan komparatif untuk menentang keberadaan Corn Law. Akhirnya undang-undang yang proteksionistik itu dicabut.
Perjuangan menentang Corn Law telah mempersatukan kepentingan kalangan industriwan dan buruh. Kedua golongan berada di satu kubu melawan musuh bersama, yakni praktik yang mengekang roda produksi yang sedang melaju kencang setelah revolusi industri di Inggris.
Sejarah mencatat pula bahwa kalangan pemodal dan kaum buruh kerap sejalan dalam memperjuangkan demokratisasi. Rezim otoriter ataupun oligarki pada umumnya tak membuka persaingan sehat sehingga membatasi akses berusaha dan dengan demikian membuka lapangan kerja yang seluas-luasnya. Rezim otoriter juga kerap "memeras" pengusaha untuk mempertahankan kekuasaannya. Selain itu, rezim otoriter cenderung memberangus kebebasan berserikat sehingga kaum pekerja tidak bisa memperjuangkan kepentingan kolektifnya secara efektif.
Memacu investasi
Perjuangan seluruh elemen masyarakat telah membawa kita pada era demokratisasi. Para pekerja bebas berserikat. Era proteksionisme dan peran negara yang berlebihan dalam mendikte pasar telah berlalu. Saatnya sekarang kita bahu-membahu menghadapi musuh bersama yang membuat kita tetap terseok-seok.
Tantangan yang kita hadapi ialah bagaimana memacu investasi sebagai ujung tombak pertumbuhan ekonomi. Untuk itu, kita harus terlebih dahulu memobilisasi potensi yang telah kita miliki, antara lain dengan memanfaatkan sumber pembiayaan dalam negeri, baik dari perbankan maupun lembaga-lembaga keuangan nonperbankan. Laju peningkatan kredit yang melambat selama tahun 2005 menjadi salah satu penyebab dari melemahnya pertumbuhan investasi.
Tantangan berikutnya ialah bagaimana memacu kredit untuk meningkatkan kapasitas produksi, karena sejauh ini pertumbuhan kredit investasi justru yang paling lambat dibandingkan dengan pertumbuhan kredit konsumsi dan kredit modal kerja. Apakah kondisi ini disebabkan semata-mata oleh masalah yang dihadapi Bank Mandiri dan Bank BNI, atau karena perbankan kita makin didominasi oleh pemilikan asing? Apakah struktur pemilikan yang makin didominasi asing dan kinerja perbankan yang kurang menggembirakan dalam hal penyalinan kredit ini terkait dengan penerapan Arsitektur Perbankan Indonesia (API) yang sangat bias pada aspek permodalan?
Pertanyaan-pertanyaan strategis ini patut memperoleh perhatian agar kita tak semakin tersesat di belantara globalisasi dan liberalisasi finansial. Apa gunanya rasio kecukupan modal perbankan kita tinggi di sekitar 20 persen-sementara di Korea saja hanya 13 persen-kalau fungsi intermediasinya tetap lemah.
Peranan modal asing langsung masih tetap kita butuhkan. Bukan saja semata-mata untuk menutup celah tabungan-investasi (saving-investment gap), melainkan juga untuk tujuan alih teknologi dan pengetahuan serta pembukaan akses pasar.
Berdasarkan beberapa survei persepsi terhadap kalangan pengusaha, tampaknya persoalan regulasi ketenagakerjaan di tingkat pusat maupun daerah bukanlah menjadi perintang utama di mata investor. Yang lebih menjadi perintang ialah ketakstabilan dan ketakstabilan makroekonomi, korupsi di tingkat pusat maupun daerah, serta perpajakan. Untuk memacu investasi, pemerintah sepatutnya lebih berkonsentrasi untuk memecahkan persoalan-persoalan tersebut.
Persoalan ketenagakerjaan terutama banyak muncul di industri-industri tertentu yang bersifat padat karya. Masalahnya pun pada umumnya terbatas pada persoalan tingkat upah. Industri-industri ini semakin tak memiliki ruang gerak untuk menaikkan tingkat upah karena didera oleh berbagai tekanan dari segala arah. Mulai dari persaingan dengan barang-barang impor legal maupun ilegal, kenaikan biaya produksi yang bertubi-tubi, hingga tidak kondusifnya kebijakan industrial dan perdagangan.
Perkuat institusi
Cara terbaik untuk menyelesaikan masalah ketenagakerjaan khususnya dan masalah perekonomian umumnya ialah dengan memperkuat institusi. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 mengandung banyak kelemahan. Pada tahap pembahasan di DPR, rancangan undang-un dang ini banyak menimbulkan protes dari kedua belah. pihak, baik kalangan buruh sendiri maupun kalangan pengusaha.
Saatnyalah sekarang seluruh elemen bangsa duduk bersama, menghimpun kekuatan yang tercecer, membangun fondasi yang kokoh bagi penguatan daya saing yang bertumpu pada optimalisasi sumber daya yang kita miliki lebih dari cukup untuk meningkatkan kesejahteraan umum.
Mayoritas buruh kita berpendidikan sekolah menengah pertama ke bawah. Mereka butuh perlindungan untuk sekadar hidup di tingkat subsistem. Kita harus keluar dari paradigma mendikotomikan pengusaha versus buruh. Pengusaha butuh kepastian dan fleksibilitas. Buruh butuh jaminan hidup layak. Bukankah kita punya negara yang bisa menjembatani kepentingan azali keduanya. Bukankah negara berkewajiban membangun sistem pasar yang tak hanya bertopang pada pilar market creating semata, melainkan harus pula membangun tiga pilar lainnya, yakni market stabilizing, market regulating, dan market legitimizing?
Pilar keempat, yakni market legitimizing, tampaknya yang selama ini terabaikan dalam kontroversi penyikapan atas rencana revisi Undang-Undang Nomor 13/2003. Untuk mewujudkan pilar keempat ini, revisi tak hanya terbatas pada Undang-Undang No 13/2003, melainkan juga harus meliputi Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional tahun 2004 serta reformasi total keberadaan PT Jamsostek yang notabene dananya berasal dari pengusaha dan keringat pekerja.
Dengan empat pilar sistem pasar inilah kita bisa membangun sosok perekonomian yang menjamin terpenuhinya sense of justice dan sense of equity.***
Beri Komentar ?#(0) | Bookmark
Properti | Nilai Properti |
---|---|
ID Publisher | JBPTPPOLBAN |
Organisasi | POLBAN |
Nama Kontak | Erlin Arvelina |
Alamat | Jl. Trsn. Gegerkalong Hilir Ds. Ciwaruga |
Kota | Bandung |
Daerah | Jawa Barat |
Negara | Indonesia |
Telepon | 022 201 3789 ext. 168, 169, 239 |
Fax | 022 201 3889 |
E-mail Administrator | erlin.arvelina@polban.ac.id |
E-mail CKO | erlin.arvelina@polban.ac.id |